A. Pengertian
Struktur :
• Pelembagaan hubungan organisasi antara komponen-komponen yang membentuk bangunan itu
• Struktur Politik dapat merupakan bangunan yang nampak jelas (konkret) dan yang tak nampak jelas
Ketika suatu proses dimana masyarakat memutuskan bahwa aktivitas tertentu adalah lebih baik dari yang lain dan harus dilaksanakan diartikan sebagai bagian dari politik suatu masyarakat. Dengan demikian struktur politik meliputi baik struktur hubungan antara manusia dengan manusia maupun struktur hubungan antara manusia dengan pemerintah. Hal ini dapat terlihat dari contoh-contoh sebagai berikut:
a) Faktor-faktor yang bersifat informal (tidak atau kurang resmi) yang dalam kenyataan mempengaruhi cara kerja aparat masyarakat untuk mengemukakan, menyalurkan, menerjemahkan, mengkonversi tuntutan, dukungan, dan masalah tertentu dimana tersangkut keputusan yang berhubungan dengan kepentingan umum.
b) Lembaga yang dapat di sebut sebagai mesin politik resmi atau formal, yang dengan absah mengidentifikasi segala masalah, menentukan dan menjalankan segala keputusan yang mengikat seluruh anggota masyarakat untuk mencapai kepentingan umum.
Kemudian untuk mempertajam daya analisa, ada baiknya di uraikan beberapa istilah pokok yang diutarakan oleh, misalnya Talcott Parson : pelaku (actor); G.A.Almond: peranan (roles) dan struktur, dalam pengertian yan tidak terpisahkan dari fungsinya; sedangkan David Easton lebih cenderung mewarnai seluruh uraiannya dengan proses atau interaksinya.
Ketiga sarjana di atas menekankan satu sisi yang menurut pengamatan mereka sangat mendasari pembahasan sistem politik. Bila penekanan pada 3 faktor tersebut di atas dipakai, diperkirakan ketiganya akan saling melengkapi. Mesin Politik : Informal yang berada dalam wilayah (realm) tidak resmi atau kurang resmi dapat di buat model pendekatan sebagai berikut:
a) Pengelompokan masyarakat atas dasar persamaan sosial ekonomi, pengelompokan demikian lebih bersifat mengupas soal kekuatan riil dan masyarakat sebagai apa yang oleh Hugh Seton Watson dinamakan Force Of Revolution. Tantangan yang dihadapi sistem politik Indonesia antara lain juga berhubungan belum perkembangan diversifikasi komoditi ekspor. Bila usaha ekstraktif eksploitasi kayu dan rempah-rempah tidak di hitung, maka hasil pertanian hanya berkisar 11,6% dari empat jenis kelompok komoditi dimana minyak bumi meliputi 68,9%. Hal itu akan nampak dalam peranan ekspor komoditi nonmigas yang makin lama makin meningkat.
B. Mesin Politik
Informal : kelompok tani, nelayan, dokter, akademisi, pengusaha dll.
Formal : Eksekutif, legislatif, yudikatif , parpol. Teori Dikotomi : Policy making dan Policy Executing.
C. Struktur Politik
Suprastruktur : struktur politik pemerintahan, suasana pemerintahan
Infrastruktur : struktur politik masyarakat, suasana kehidupan politik masyarakat.
Infrastruktur politik sering disebut sebagai bangunan bawah, atau mesin politik informal atau mesin politik masyarakat yang terdiri dari berbagai kelompok yang dibentuk atas dasar kesamaan social, ekonomi, kesamaan tujuan, serta kesamaan lainnya.
Pengelompokan infra struktur yang paling nyata dalam kehidupan Negara, yakni:
1. Partai Politik
Merupakan suatu kelompok terorganisir yang anggota-anggotanya memiliki nilai orientasi, dan cita-cita yang sama. Dengan tujuan mendapatkan kekuasaan politik dengan cara konstitusi, melalui pemilihan umum ( PEMILU )
2. Organisasi Kemasyarakaan ( ORMAS )
Dibentuk dengan tujuan-tujuan dalam bidang social dan budaya. Organisasi ini tidak melibatkan diri untuk ikut serta dalam dalam peserta untuk memperoleh kekuasaan dalam PEMILU.
3. Kelompok Kepentingan ( Interest Group )
Merupakan kelompok yang berusaha mempengaruhi kebijakan pemerintah tanpa berkehendak memperoleh jabatan public, kelompok ini tidak berusaha menguasai pengelolaan pemerintahan secara langsung.
4. Kelompok Penekan ( Persure Group )
Kelompok yang dapat mempegaruhi atau bahkan membentuk kebijaksanaan pemerintah melalui cara-cara persuasi, propaganda, atau cara lain yang lebih efektif. Mereka antara lain : industriawan dan asosiasi-asosiasi lainnya.
5. Tokoh Masyarakat ( Opinion Leaders )
Kelompok yang terdiri dari tokoh-tokoh masyarakat baik dari tokoh agama, tokoh adat, dan budaya.
6. Media Massa ( Pers )
Media massa dalam arti sempit, yang meliputi surat kabar, Koran, majalah, tabloit, dan bulletin-buletin pada kantor. Maupun media massa dalam arti luas yang meliputi: media cetak, audio, audio visual, dan media elektronik.
Kelompok infra struktur politik tersebut, secar nyata merekalah yang menggerakkan sistem, memberikan input, terlibat dalam proses politik, memberikan pendidikan politik, melekukan sosialisasi politik, menyeleksi kepemimpinan, menyelesaikan sengketa politik, yang terjadi diantara berbagai pihak baik di dalam maupun di luar. Serta mempunyai daya ikat baik secara ke dalam maupun keluar.
D. Fungsi-Fungsi Struktur Politik
1) Pendidikan politik
2) Agregasi kepentingan
3) Artikulasi kepentingan
4) Seleksi kepemimpinan
5) Komunikasi politik
=> Sering disebut dengan fungsi input
Sabtu, 22 Januari 2011
PENGREKRUTAN POLITIK
A. Definisi Pengrekrutan Politik
Menurut Czudnowski seperti yang dikutip oleh Fadillah Putra dalam bukunya “Partai politik dan Kebijakan Publik” ( Putra, 2003 : 206 ), mengemukakan definisi rekrutmen politik yaitu:
“ The process through which individuals or group of individuals are inducted into active political roles” (“Suatu proses yang berhubungan dengan individu-individu atau kelompok individu yang dilantik dalam peran-peran politik aktif ” ).
Partai politik sebagai sarana rekrutmen politik. Partai politik berfungsi mencari dan Mafatih Al-Ghaib berkata, “Partai adalah kumpulan orang yang satu tujuan, mereka salah satu instrumen politik yang memiliki tujuan untuk meraih kekuasaan.Selain memiliki tujuan yang jelas adapula fungsi-fungsi yang harus dijalankan yaitu rekrutmen politik
rekruitmen politik, artinya rekruitmen yang berkaitan dengan dunia politik, dari rekrut anggota parpol, anggota legislatif, bupati, walikota, gubernur dan presiden, dsb dan dalam demokrasi biasanya rekruitmen dilakukan secara demokratis(interpretasinya adalah merupakan hasil keputusan bersama dengan suara terbanyak). Semoga bisa menjadi dasar pemikiran untuk kemudian dikembangkan dengan literatur-literatur
Pengrekrutan Politik adalah suatu proses yang menempatkan seseorang dalam jabatan politik setelah vang bersangkutan diakui kredibilitas dan lovalitasnya. Perekrutan politik merupakan konsekuensi logis dalam memenuhi kesinambungan sistem politik dan adanva suatu system Politik yang hidup dan berkembang.
B. Proses Pengrekrutan Politik
Dalam proses rekrutmen caleg yang dilakukan oleh partai politik,baik secara internal dan eksternal tersebut,partai politik tidak hanya mempertimbangkan seorang caleg memiliki syarat kapasitas (kemampuan pribadi), akseptabilitas (dapat diterima masyarakat) dan memiliki syarat akuntabilitas (dapat dipertanggungjawabkan kinerjanya) semata. Namun lebih dari itu, seorang caleg perlu memiliki syarat marketable (harus layak jual) kepada konstituen selaku konsumen.
Jika mengacu pada pendekatan political marketing (pemasaran politik), maka, caleg yang marketable tersebut, tentu tidak semata-mata akan mengantungkan keberutungannya pada nomor topi, yang selama ini sering menjadi rebutan para pengurus partai politik dalam proses rekrutmen caleg. Namun biar dipasang pada nomor urut sepatu-pun, tidak menjadi problem bagi caleg yang memiliki kualifikasi marketable, sejauh caleg itu laris dijual kepada para konstituen.
Dalam operasionalnya, perekrutan politik dapat ditempuh melalui dua jalan. Pertama, perekrutan yang bersifat formal yakni ketika seseorang menduduki jabatan politik direkrut secara terbuka melalui ketetapan-ketetapan yang bersifat umum dan ketetapan-ketetapan itu disahkan secara bersama-sama. Perekrutan ini dilaksanakan melalui seleksi atau melalui pemilihan. Kedua, perekrutan tidak formal yakni usaha seseorang tanpa suatu proses terbuka sehingga seseorang itu mendapatkan kesempatan atau mungkin didekati orang lain untuk diberi posisi-posisi tertentu
C. Rekruitmen yang bermakna
Otonomi daerah menjadikan rakyat sebagai pusat pembangunan dalam segala bidang. Konkritnya, mau tidak mau, suka tidak suka, sadar atau tidak sadar, terpaksa atau sukarela, rakyat di Daerah dijadikan sebagai subyek dan obyek dari eksperimen pembangunan demokratisasi politik di tingkat lokal dengan mempropagandakan wacana/isu civil society yang semata-mata hanya merupakan pembungkus perjuangan untuk merebut kekuasaan sekaligus sebagai mimpi indah penghias tidur disaat rakyat semakin kelaparan dan miskin.
Dalam konteks politik lokal, keberadaan para politisi yang memiliki fungsi politis dan strategis semakin menjamur seiring telah terjadinya roling kekuasaan dari masa orde baru ke reformasi yang dilakukan melalui mekanisme pemilu/pilkada secara langsung. Dimana sebelumnya fenomena yang ditimbulkan dari diselenggarakannya kebijakan pemilihan kepala daerah/wakil kepala daerah melalui sistem perwakilan telah menyisakan persepsi negatif masyarakat terhadap wakil-wakilnya sendiri, terjadinya money politics, korupsi, kolusi, nepotisme, buruknya kinerja lembaga-lembaga Pemerintahan Daerah dan berbagai macam masalah lainnya yang mengakibatkan rendahnya kredibilitas dan akuntabilitas lembaga legislatif maupun eksekutif di mata masyarakatnya sendiri.
Rangka mengorganisir kekuasaan secara demokratis. Rekrutmen merupakan arena untuk membangun kaderisasi, regenerasi, dan seleksi para calon serta membangun legitimasi dan relasi antara partai dengan masyarakat sipil. Selain itu juga bertujuan mencari orang untuk dijadikan kader partai, serta proses penempatan kader partai dalam jabatan-jabatan politik dan jabatan publik, atau dalam rangka selection of leadership.
Meluasnya persepsi negatif di masyarakat terhadap perekrutan yang selama ini dilakukan oleh partai politik melahirkan wacana calon independen sekalipun masih sulit untuk direalisasikan. Setidaknya problem rekruitment, dalam hal ini adalah calon kepala daerah antara lain:
pertama, proses rekruitment bersifat eksklusif (tertutup) dan tidak transparan. Calon sama sekali tidak mempunyai sense of belonging terhadap konstituen yang menjadi basisnya karena dia hanya ingin memenangkan Pilkada dengan menggunakan partai politik hanya sebagai “kendaraan” untuk memobilisasi massa semata, sehingga pembelajaran untuk membangun akuntabilitas dan responsivitas calon menjadi sangat lemah.
Sebaliknya masyarakat lokal juga tidak tahu siapa calon yang akan dipilihnya, yang kelak akan membawa dan mempertanggungjawabkan mandat. Masyarakat tidak bisa menyampaikan voice untuk mempengaruhi calon-calon yang duduk dalam daftar pencalonan kepala daerah dari setiap partai politik, karena hal ini merupakan otoritas penuh partai politik.
Jikalau pun masyarakat lokal memang berpartisipasi dalam proses rekrutmen, paling tidak hanya dengan memberikan hak pilihnya pada Pilkada. Tetapi vote dari masyarakat itu bukanlah partisipasi yang sebenarnya, kecuali hanya sebagai ritual politik yang menempatkan masyarakat sebagai obyek mobilisasi.
Maka dari itu, proses rekrutmen harus berlangsung secara terbuka. Masyarakat harus memperoleh informasi yang memadai dan terbuka tentang siapa calon calon kepala daerah/wakil kepala daerah dari partai politik/gabungan parta politik, track record masing-masing calon, dan proses seleksi hingga penentuan calon. Partai politik mempunyai kewajiban menyampaikan informasi (sosialisasi) setiap calonnya secara terbuka kepada publik. Di sisi lain, partai juga harus terbuka menerima kritik dan gugatan terhadap calon yang dinilai tidak berkualitas oleh masyarakat.
Kedua, dalam proses rekrutmen, partai politik sering menerapkan pendekatan “asal comot” terhadap calon yang dipandang sebagai “mesin politik”. Pendekatan ini cenderung mengabaikan aspek legitimasi, komitmen, kapasitas, dan misi perjuangan dari partai politik/gabungan partai politik itu sendiri. Para calon kepala daerah/wakil kepala daerah, seperti mantan anggota TNI/Polri dan pejabat diambil bukan karena mempunyai visi-misi, melainkan karena mereka mempunyai sisa-sisa jaringan kekuasaan. Para pengusaha direkrut karena mempunyai “modal” banyak yang bisa digunakan secara efektif untuk dana mobilisasi hingga money politics. Para selebritis diambil karena mereka mempunyai banyak penggemar. Para ulama (yang selama ini menjadi penjaga moral) juga diambil karena mempunyai pengikut masa tradisional. Partai politik secara mudah (deal – deal-an) mengambil tokoh ormas, intelektual, atau akademisi di kampus yang haus akan kekuasaan dan ingin menjadikan partai sebagai jalan untuk mobilitas vertikal. Sementara para aktivis, intelektual maupun akademisi yang konsisten pada misi perjuangannya tidak mau bergabung atau sulit diajak bergabung ke partai politik, sebab dalam partai politik tidak terjadi dialektika untuk memperjuangkan idealisme. Sekarang pendekatan “asal comot” yang dilakukan partai semakin kentara ketika undang-undang mewajibkan kuota 30% kursi untuk kaum perempuan.
Ketiga, tidak adanya relasi yang sehat antara partai politik dan masyarakat sipil. Masyarakat sipil hanya dipandang secara simbolik sebagai angka (nominal), bukan sebagai konstituen yang harus dihormati dan dipejuangkan. Banyak organisasi sipil dijadikan onderbow yang hanya digunakan untuk memobilisir massa untuk kemenangan sepasang calon. Massa yang dikerahkan bukanlah basis dari partai politik/gabungan partai politik yang mencalonkan calon. Organisasi sipil tersebut antara lain: Organisasi Kekaryaan dan Pemuda (OKP), organisasi agama, organisasi wanita, organisasi profesi, organisasi adat dan organisasi olahraga. Paling tidak organisasi-organisasi sipil tersebut dapat dijadikan basis sosial sekaligus ”lumbung suara” bagi para calon kepala daerah menjelang Pemilihan Gubernur di Lampung mendatang terlebih dalam masyarakat yang masih kental paternalismenya, seperti masyarakat Lampung.
Untuk itu, agar hubungan antara partai politik dengan organisasi masyarakat sipil tetap terjaga, mau tidak mau, suka tidak suka mereka harus mengembangkan basis atau jaringan dengan komunitas atau organisasi masyarakat sipil. Bentuknya bisa perjanjian masyarakat (kontrak sosial). Isi dari kontrak sosial tersebut merupakan mandat dari masyarakat yang harus dilaksanakan secara konsisten oleh calon kepala daerah/wakil kepala daerah sebagai dasar legitimasi perjuangan politik.
Menurut Czudnowski seperti yang dikutip oleh Fadillah Putra dalam bukunya “Partai politik dan Kebijakan Publik” ( Putra, 2003 : 206 ), mengemukakan definisi rekrutmen politik yaitu:
“ The process through which individuals or group of individuals are inducted into active political roles” (“Suatu proses yang berhubungan dengan individu-individu atau kelompok individu yang dilantik dalam peran-peran politik aktif ” ).
Partai politik sebagai sarana rekrutmen politik. Partai politik berfungsi mencari dan Mafatih Al-Ghaib berkata, “Partai adalah kumpulan orang yang satu tujuan, mereka salah satu instrumen politik yang memiliki tujuan untuk meraih kekuasaan.Selain memiliki tujuan yang jelas adapula fungsi-fungsi yang harus dijalankan yaitu rekrutmen politik
rekruitmen politik, artinya rekruitmen yang berkaitan dengan dunia politik, dari rekrut anggota parpol, anggota legislatif, bupati, walikota, gubernur dan presiden, dsb dan dalam demokrasi biasanya rekruitmen dilakukan secara demokratis(interpretasinya adalah merupakan hasil keputusan bersama dengan suara terbanyak). Semoga bisa menjadi dasar pemikiran untuk kemudian dikembangkan dengan literatur-literatur
Pengrekrutan Politik adalah suatu proses yang menempatkan seseorang dalam jabatan politik setelah vang bersangkutan diakui kredibilitas dan lovalitasnya. Perekrutan politik merupakan konsekuensi logis dalam memenuhi kesinambungan sistem politik dan adanva suatu system Politik yang hidup dan berkembang.
B. Proses Pengrekrutan Politik
Dalam proses rekrutmen caleg yang dilakukan oleh partai politik,baik secara internal dan eksternal tersebut,partai politik tidak hanya mempertimbangkan seorang caleg memiliki syarat kapasitas (kemampuan pribadi), akseptabilitas (dapat diterima masyarakat) dan memiliki syarat akuntabilitas (dapat dipertanggungjawabkan kinerjanya) semata. Namun lebih dari itu, seorang caleg perlu memiliki syarat marketable (harus layak jual) kepada konstituen selaku konsumen.
Jika mengacu pada pendekatan political marketing (pemasaran politik), maka, caleg yang marketable tersebut, tentu tidak semata-mata akan mengantungkan keberutungannya pada nomor topi, yang selama ini sering menjadi rebutan para pengurus partai politik dalam proses rekrutmen caleg. Namun biar dipasang pada nomor urut sepatu-pun, tidak menjadi problem bagi caleg yang memiliki kualifikasi marketable, sejauh caleg itu laris dijual kepada para konstituen.
Dalam operasionalnya, perekrutan politik dapat ditempuh melalui dua jalan. Pertama, perekrutan yang bersifat formal yakni ketika seseorang menduduki jabatan politik direkrut secara terbuka melalui ketetapan-ketetapan yang bersifat umum dan ketetapan-ketetapan itu disahkan secara bersama-sama. Perekrutan ini dilaksanakan melalui seleksi atau melalui pemilihan. Kedua, perekrutan tidak formal yakni usaha seseorang tanpa suatu proses terbuka sehingga seseorang itu mendapatkan kesempatan atau mungkin didekati orang lain untuk diberi posisi-posisi tertentu
C. Rekruitmen yang bermakna
Otonomi daerah menjadikan rakyat sebagai pusat pembangunan dalam segala bidang. Konkritnya, mau tidak mau, suka tidak suka, sadar atau tidak sadar, terpaksa atau sukarela, rakyat di Daerah dijadikan sebagai subyek dan obyek dari eksperimen pembangunan demokratisasi politik di tingkat lokal dengan mempropagandakan wacana/isu civil society yang semata-mata hanya merupakan pembungkus perjuangan untuk merebut kekuasaan sekaligus sebagai mimpi indah penghias tidur disaat rakyat semakin kelaparan dan miskin.
Dalam konteks politik lokal, keberadaan para politisi yang memiliki fungsi politis dan strategis semakin menjamur seiring telah terjadinya roling kekuasaan dari masa orde baru ke reformasi yang dilakukan melalui mekanisme pemilu/pilkada secara langsung. Dimana sebelumnya fenomena yang ditimbulkan dari diselenggarakannya kebijakan pemilihan kepala daerah/wakil kepala daerah melalui sistem perwakilan telah menyisakan persepsi negatif masyarakat terhadap wakil-wakilnya sendiri, terjadinya money politics, korupsi, kolusi, nepotisme, buruknya kinerja lembaga-lembaga Pemerintahan Daerah dan berbagai macam masalah lainnya yang mengakibatkan rendahnya kredibilitas dan akuntabilitas lembaga legislatif maupun eksekutif di mata masyarakatnya sendiri.
Rangka mengorganisir kekuasaan secara demokratis. Rekrutmen merupakan arena untuk membangun kaderisasi, regenerasi, dan seleksi para calon serta membangun legitimasi dan relasi antara partai dengan masyarakat sipil. Selain itu juga bertujuan mencari orang untuk dijadikan kader partai, serta proses penempatan kader partai dalam jabatan-jabatan politik dan jabatan publik, atau dalam rangka selection of leadership.
Meluasnya persepsi negatif di masyarakat terhadap perekrutan yang selama ini dilakukan oleh partai politik melahirkan wacana calon independen sekalipun masih sulit untuk direalisasikan. Setidaknya problem rekruitment, dalam hal ini adalah calon kepala daerah antara lain:
pertama, proses rekruitment bersifat eksklusif (tertutup) dan tidak transparan. Calon sama sekali tidak mempunyai sense of belonging terhadap konstituen yang menjadi basisnya karena dia hanya ingin memenangkan Pilkada dengan menggunakan partai politik hanya sebagai “kendaraan” untuk memobilisasi massa semata, sehingga pembelajaran untuk membangun akuntabilitas dan responsivitas calon menjadi sangat lemah.
Sebaliknya masyarakat lokal juga tidak tahu siapa calon yang akan dipilihnya, yang kelak akan membawa dan mempertanggungjawabkan mandat. Masyarakat tidak bisa menyampaikan voice untuk mempengaruhi calon-calon yang duduk dalam daftar pencalonan kepala daerah dari setiap partai politik, karena hal ini merupakan otoritas penuh partai politik.
Jikalau pun masyarakat lokal memang berpartisipasi dalam proses rekrutmen, paling tidak hanya dengan memberikan hak pilihnya pada Pilkada. Tetapi vote dari masyarakat itu bukanlah partisipasi yang sebenarnya, kecuali hanya sebagai ritual politik yang menempatkan masyarakat sebagai obyek mobilisasi.
Maka dari itu, proses rekrutmen harus berlangsung secara terbuka. Masyarakat harus memperoleh informasi yang memadai dan terbuka tentang siapa calon calon kepala daerah/wakil kepala daerah dari partai politik/gabungan parta politik, track record masing-masing calon, dan proses seleksi hingga penentuan calon. Partai politik mempunyai kewajiban menyampaikan informasi (sosialisasi) setiap calonnya secara terbuka kepada publik. Di sisi lain, partai juga harus terbuka menerima kritik dan gugatan terhadap calon yang dinilai tidak berkualitas oleh masyarakat.
Kedua, dalam proses rekrutmen, partai politik sering menerapkan pendekatan “asal comot” terhadap calon yang dipandang sebagai “mesin politik”. Pendekatan ini cenderung mengabaikan aspek legitimasi, komitmen, kapasitas, dan misi perjuangan dari partai politik/gabungan partai politik itu sendiri. Para calon kepala daerah/wakil kepala daerah, seperti mantan anggota TNI/Polri dan pejabat diambil bukan karena mempunyai visi-misi, melainkan karena mereka mempunyai sisa-sisa jaringan kekuasaan. Para pengusaha direkrut karena mempunyai “modal” banyak yang bisa digunakan secara efektif untuk dana mobilisasi hingga money politics. Para selebritis diambil karena mereka mempunyai banyak penggemar. Para ulama (yang selama ini menjadi penjaga moral) juga diambil karena mempunyai pengikut masa tradisional. Partai politik secara mudah (deal – deal-an) mengambil tokoh ormas, intelektual, atau akademisi di kampus yang haus akan kekuasaan dan ingin menjadikan partai sebagai jalan untuk mobilitas vertikal. Sementara para aktivis, intelektual maupun akademisi yang konsisten pada misi perjuangannya tidak mau bergabung atau sulit diajak bergabung ke partai politik, sebab dalam partai politik tidak terjadi dialektika untuk memperjuangkan idealisme. Sekarang pendekatan “asal comot” yang dilakukan partai semakin kentara ketika undang-undang mewajibkan kuota 30% kursi untuk kaum perempuan.
Ketiga, tidak adanya relasi yang sehat antara partai politik dan masyarakat sipil. Masyarakat sipil hanya dipandang secara simbolik sebagai angka (nominal), bukan sebagai konstituen yang harus dihormati dan dipejuangkan. Banyak organisasi sipil dijadikan onderbow yang hanya digunakan untuk memobilisir massa untuk kemenangan sepasang calon. Massa yang dikerahkan bukanlah basis dari partai politik/gabungan partai politik yang mencalonkan calon. Organisasi sipil tersebut antara lain: Organisasi Kekaryaan dan Pemuda (OKP), organisasi agama, organisasi wanita, organisasi profesi, organisasi adat dan organisasi olahraga. Paling tidak organisasi-organisasi sipil tersebut dapat dijadikan basis sosial sekaligus ”lumbung suara” bagi para calon kepala daerah menjelang Pemilihan Gubernur di Lampung mendatang terlebih dalam masyarakat yang masih kental paternalismenya, seperti masyarakat Lampung.
Untuk itu, agar hubungan antara partai politik dengan organisasi masyarakat sipil tetap terjaga, mau tidak mau, suka tidak suka mereka harus mengembangkan basis atau jaringan dengan komunitas atau organisasi masyarakat sipil. Bentuknya bisa perjanjian masyarakat (kontrak sosial). Isi dari kontrak sosial tersebut merupakan mandat dari masyarakat yang harus dilaksanakan secara konsisten oleh calon kepala daerah/wakil kepala daerah sebagai dasar legitimasi perjuangan politik.
Langganan:
Postingan (Atom)